Senin, 28 Februari 2011

ketoprak

Ketoprak merupakan kesenian tradisional masyarakat Jawa. Di Yogyakarta, kesenian ini lebih dikenal dengan sebutan Ketoprak Mataram yang dimainkan dalam sebuah tobong (panggung), sehingga dikenal juga dengan istilah “Ketoprak Tobong”. Namun, dalam perkembangannya, secara perlahan kesenian ini mulai ditinggalkan masyarakat karena dianggap tak menarik lagi.

Dalam upaya menjaga eksistensi kesenian ketoprak, beberapa seniman ketoprak membentuk komunitas Ketoprak Garapan, dengan kemasan yang berbeda dengan ketoprak yang sudah ada. Salah satunya adalah pementasan Ketoprak Ringkes yang sekarang ini sangat populer dan digemari masyarakat Yogyakarta.

Ketoprak Ringkes merupakan upaya memberi warna dalam kesenian ketoprak yang sudah ada. Lakon cerita diambil dengan mengadaptasi situasi politk sosial yang sedang menjadi perbincangan masyarakat sementara gaya pementasan dibawakan secara santai, penuh dengan improvisasi. Kemasan pementasan ini membuat kesenian ini menjadi sangat segar, lucu dan menarik.

seperti yang terlihat dalam pementasan “Cecak Nguntal Cagak (Cicak Makan Tiang)“ yang dimainkan oleh Komunitas Ketoprak Ringkes Tjap Tjontong di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta, Sabtu (30/1), siapapun akan sepakat menyatakan bahwa pementasan tersebut berlangsung sangat sukses. Gedung konser yang berkapasitas sekitar 1000 kursi terisi penuh tanpa sisa, sementara puluhan penonton yang tidak kebagian tempat duduk rela duduk lesehan beralas tikar dan koran didepan panggung. Pementasan yang berdurasi sekitar 2,5 jam juga berlangsung sangat interaktif. Celotehan penonton terhadap adegan-adegan yang dianggap menjenuhkan ditanggapi para pemain dengan dialog-dialog yang mampu memancing tawa.

Cicak Nguntal Cagak berkisah tentang karut marut hukum yang berlaku di kerajaan “Regul Bawana” yang dipimpin oleh Raja Kasmala Nagara. Raja yang setiap hari pekerjaannya hanya menjaga citra dan terlalu yakin dengan kekuasaannya karena merasa segala kebijakannya didukung rakyat ini justru didemo oleh rakyatnya akibat banyaknya kasus yang tak terselesaikan. Uang negara sebesar Rp. 6,7 trilyun yang menguap entah kemana belakangan diketahui bahwa uang tersebut ternyata dibagi-bagi oleh konglomerat ‘Digdoyo’ untuk para penguasa yang sangat korup, sementara pada sisi yang lain seorang rakyat kecil harus rela dipenjarakan hanya karena ‘mengambil sebutir buah semangka’ milik tetangga.

Untuk menghindari tuduhan bahwa dirinya terlibat, Raja Kasmala Negara kemudian membentuk Tim Pencari Fakta. Namun, pembentukan tim ini ternyata justru membuat kondisi semakin runyam dan tak menentu. Bahkan beberapa tokoh baik justru harus rela masuk penjara karena menentang raja dan kisah ini diakhiri dengan pengunduran diri sang raja karena rakyat tak lagi percaya dengan Raja Kasmala Negara.


0 komentar:

Posting Komentar

Template by:

Free Blog Templates